CONTOH SKRIPSI EKONOMI : PERANAN ANGGARAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi pada Pengelolaan Dana Pembangunan Sarana dan Prasarana di Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto)

KEMBALI LAGI SAYA POSTINGCONTOH SKRIPSI EKONOMI : PERANAN ANGGARAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi pada Pengelolaan Dana Pembangunan Sarana dan Prasarana di Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang sangat luas bagi daerah dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan bidang agama. UU No. 22/1999 menyatakan bahwa otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=52)
Dengan kewenangan yang dimilikinya, daerah akan lebih leluasa dalam menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Daerah juga dapat menyusun perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan aspirasi masyarakat. Perencanaan pembangunan tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah,  agar pembangunan yang direncanakan dapat tepat pada sasarannya yaitu untuk mensejahterakan masyarakat dan tidak menimbulkan pemborosan dana. (http// www.google.co. id) Perencanaan diperlukan karena adanya kelangkaan/keterbatasan sumber daya dan sumber dana yang tersedia sehingga tidak menyulitkan suatu pilihan kegiatan. (Suhadak dan Nugroho, 2007: 2)
Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai alat ukur bagi keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat diketahui dari Pendapatan Domestik Regional Brutonya (PDRB), karena dengan melihat PDRB dapat diketahui tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat kemakmuran, tingkat inflasi dan deflasi, stuktur perekonomian, serta potensi dari suatu daerah. Apabila PDRB suatu daerah mengalami peningkatan tiap tahunnya berarti dapat dikatakan bahwa daerah tersebut telah berhasil dalam melaksanakan pembangunan. (Katalog BPS Kabupaten Mojokerto, 2007 : 1-2)
Kabupaten Mojokerto merupakan kabupaten yang pertumbuhan ekonominya selalu mengalami peningkatan ditiap tahunnya, hal itu dapat dilihat dari PDRB dari tahun 2001-2006 yang mengalami peningkatan dari 3,27 % hingga mencapai 5,47 %. Dengan pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat, seharusnya dikabupaten Mojokerto sudah tidak ada lagi daerah yang termasuk dalam kategori daerah tertinggal. Namun realita yang ada, ternyata masih ada beberapa daerah yang dapat dikatakan belum begitu tersentuh pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan daerah tentu saja tidak terlepas dari ketersediaan dana untuk pembiayaannya. Pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan daerah dituangkan dalam anggaran pembangunan. Selama ini anggaran pembangunan daerah terbagi atas anggaran pembangunan yang termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan anggaran pembangunan yang dikelola oleh instansi vertikal di daerah.
Anggaran pembangunan daerah pada umumnya bersumber dari bantuan pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Bantuan pembangunan yang diberikan oleh pusat kepada daerah terdiri atas bantuan umum dan bantuan khusus. Anggaran pembangunan yang disusun dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan daerah tentu akan lebih efektif dibandingkan dengan anggaran pembangunan yang disusun dengan prinsip keseragaman antar daerah. Anggaran pembangunan tersebut diharapkan dapat mengatasi terjadinya pemborosan sebagai akibat program pembangunan yang tumpang tindih.
Sebagai Konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran. Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5/1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 22/1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).  Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget. (http://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=54)
Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang diusulkan dalam satu periode dan sumber pandapatan yang diusulkan untuk membiayai belanja tersebut. (Arif, dkk, 2002 : 14) Salah satu fungsi anggaran adalah membantu manajemen pemerintah dalam mengambil keputusan sekalugus sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja unit kerja dibawahnya. (Suhadak dan Nugroho, 2007: 6)
Penyusunan anggaran merupakan suatu rencana tahunan sebagai aktualisasi pelaksanaan rencana jangka panjang maupun menengah. Perencanan dan penganggaran di daerah merupakan proses yang paling krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan karena berkaitan dengan tujuan dari pemerintah itu sendiri. Perencanan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi sehingga output dari perencanaan adalah penganggaran. (Suhadak dan Nugroho, 2007: 6-7)
Secara ideal, jika pengelolaan keuangan daerah yang bersumber dari PAD, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang sah merupakan kewenangan daerah maka penggunaannya untuk anggaran pembangunan akan lebih efektif. Pengalokasian dana tersebut kedalam anggaran pembangunan tentu harus berdasarkan pengkajian dan pertimbangan yang matang. Mustahil daerah akan mengalokasikan sejumlah dana tanpa melalui perencanaan yang matang, karena hal ini dapat menjadi pemborosan terhadap keuangan daerah.
Melihat dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul “PERANAN ANGGARAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN DALAM PEMBANGUNAN DAERAH (Studi pada Pembangunan Sarana dan Prasarana di Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto)”.
B.  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas dan melihat keadaan riil yang terjadi di kabupaten Mojokerto yakni adanya perkembangan yang cukup signifikan dalam berbagai bidang maka, penulis dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peranan anggaran sebagai alat perencanaan dan pengendalian dalam pembangunan daerah di kabupaten Mojokerto?
2. Bagaimana pembiayaan pembangunan yang ada di kabupaten    Mojokerto ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan peranan anggaran dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah
2. Untuk mendeskripsikan proses pembiayaan pembangunan daerah yang ada di kabupaten Mojokerto

D. BATASAN PENELITIAN

Dalam pelaksanaannya, pembangunan mempunyai arti luas yaitu pembangunan yang dilakukan meliputi pembangunan dalam berbagai bidang antara lain bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain-lain. Dalam penelitian ini, lebih terfokus pada pembangunan ekonomi dan dispesifikkan lagi pada pembangunan sarana dan prasarana Jalan daerah. 

Selengkapnya terkati CONTOH SKRIPSI EKONOMI : PERANAN ANGGARAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi pada Pengelolaan Dana Pembangunan Sarana dan Prasarana di Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto) Dari mulai BAB I hingga BAB 5 Penutup Silahkan cek di sini 

Contoh Skripsi Manajemen Keuangan : Judul PENGARUH JUMLAH DANA PIHAK KETIGA, INFLASI, DAN TINGKAT MARGIN TERHADAP ALOKASI PEMBIAYAAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (Studi pada Bank-Bank Syariah di Indonesia)

Kali ini saya memposting Contoh Skripsi Manajemen Keuangan dengan Judul PENGARUH JUMLAH DANA PIHAK KETIGA, INFLASI, DAN TINGKAT MARGIN TERHADAP ALOKASI PEMBIAYAAN USAHA KECIL DAN MENENGAH  (Studi pada Bank-Bank Syariah di Indonesia)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang Masalah (Contoh Skripsi Manajemen Keuangan)
       Di zaman ekonomi pasar bebas yang akan di hadapi Indonesia ini memberikan dampak pada para masyarakat  untuk beralih profesi sebagai wirausaha atau paling tidak mempunyai profesi sebagai Usaha Kecil dan Menengah (UKM) karena disadari bahwa pekerjaan ini memberi hidup yang layak, Permodalan bagi UKM menjadi salah satu tema pokok didalamnya untuk membentuk suatu bentuk usaha dalam merintis usaha.
Di Indonesia, salah satu keistimewaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terlihat ketika berguncangnya krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang melemahkan hampir semua sektor ekonomi. Saat itu, UKM mampu bertahan menghadapi goncangan dibandingkan dengan usaha besar. UKM ini juga sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja dan UKM juga sangat produktif dalam menghasilkan tenaga kerja baru dan juga dapat menambah jumlah unit usaha baru yang mendukung pendapatan rumah tangga dari usaha tersebut. UKM juga memiliki fleksibilitas jika dibandingkan dengan usaha yang berkapasitas besar. (www.usaha-kecil.com)
       Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini pada dasarnya adalah sektor UKM. Berkaitan dengan hal ini, paling tidak terdapat beberapa fungsi utama UKM dalam menggerakan ekonomi Indonesia, yaitu (1) Sektor usaha kecil dan menengah sebagai penyedia lapangan kerja bagi jutaan orang yang tidak


tertampung di sektor formal, (2) Sektor usaha kecil dan menengah mempunyai kontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dan (3) Sektor usaha kecil dan menengah sebagai sumber penghasil devisa negara melalui ekspor berbagai jenis produk yang dihasilkan sektor ini. (www.infoukm.wordpress.com)
       Sebagian besar usaha bisnis di Indonesia berbentuk UKM yang memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan realitas perekonomian Indonesia. Usaha yang mereka jalankan mampu berdiri di sendiri dan bersifat mandiri tanpa memiliki grup atau di bawah grup perusahaan lain. Modal mereka juga terbatas dan yang pasti usahanya pun sangat susah mendapatkan pinjaman kredit atau pembiayaan dari bank, dengan kata lain termasuk kategori unbankable.
       Berdasarkan data Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 2006-2009 perkembangan unit usaha UKM terus mengalami peningkatan hal ini dapat dilihat dari data statistik UKM tentang jumlah unit yang berkembang tiap tahunnya di Indonesia.
Tabel 1.1
Jumlah Unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia
Tahun 2006-2008

2006
2007
2008
Unit
509.365
536.847
559.878
                    Sumber: BPS data diolah

Dari Tabel diatas perkembangan unit UKM berkembang sangat baik dan hampir dalam tiap tahunnya selalu mengalami perubahan, perkembangan unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak terlepas dari bank di Indonesia baik bank umum maupun bank syariah yang turut berperan andil dalam mendukung perkembangan UKM, hal ini dapat dilihat dengan perkembangan alokasi UKM pada bank syariah yang khusus diperlakukan untuk UKM yang semakin lama semakin besar kucuran dana yang diberikan. (SEKI:BI)
Menurut Kasmir (2004: 29), kebutuhan akan dana ini baik diperlukan baik untuk modal investasi atau modal kerja dan dapat dilakukan pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan (lembaga keuangan). Dalam Praktiknya lembaga keuangan dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu: Lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan lainnya, sedangkan menurut Suhardjono (2003: 46), Pada pembiayaan alokasi dana usaha kecil dan menengah (UKM) maka dapat dilakukan berbagai alternatif lembaga Pembiayaan, terdapat 3 (tiga) alternatif pembiayaan yang dapat dipilih, yaitu kredit dari perbankan, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan modal ventura.
Peran ini juga tidak lepas dari perbankan syariah yang pertama kali berdiri pada tahun 1992, tercatat hingga tahun 2009 terdapat 5 (lima) Bank Umum Syariah (Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank BTN Syariah, Bank Rakyat Indonesia Syariah, Bank Negara Indonesia Syariah), dan jumlah BPR Syariah sebanyak 137 buah. (www.SEKI-BI.com).
Berdasarkan bentuk pembiayaan yang ditawarkan pada bank syariah menurut Suhardjono (2003: 22-23), yaitu pembiayaan berdasarkan jual beli (ba’i), sewa beli (ijarah waiqtina), bagi hasil (syirkah) dan pembiayaan lainnya. Macam-macam bentuk pembiayaan yang diberikan bank-bank syariah kepada usaha kecil menjadi sangat berarti bagi berkembangnya UKM. Pembiayaan UKM diharapkan menjadi solusi bagi masalah perekonomian saat ini. Tanpa kredit atau pembiayaan UKM akan kehilangan potensi untuk tumbuh dan berkembang dikarenakan dukungan utama berdirinya UKM adalah pembiayaan UKM, jadi keduanya tidak terlepas.
Pembiayaan yang diberlakukan untuk UKM pada bank syariah ini juga tidak lepas dari penghimpunan dana yang dilakukan bank syariah dari dari pihak ketiga. Menurut Heri Sudarsono (2007: 56-61) Perkembangan jumlah dana dari pihak ketiga berasal melalui sumber dana Al-wadiah, Mudharabah, Mudharabah Mutlaqah atau Mudharabah Muqayyadah.

Penghimpunan dana dari pihak ketiga sangat dibutuhkan dunia usaha dan investasi, jika orang sudah enggan menabung, maka dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang, karena berkembangnya dunia usaha membutuhkan dana dari masyarakat. (Nurul Huda: 2008:176)
Variabel Makro baik inflasi maupun tingkat margin pembiayaan merupakan komponen penting yang harus diperhatikan setelah jumlah dana pihak ketiga. Tingkat margin pembiayaan juga mempengaruhi UKM karena semakin tinggi tingkat margin pembiayaan maka akan menimbulkan keengganan masyarakat yaitu UKM untuk meminjam dana jika tidak sebanding  dengan keuntungan yang diperoleh UKM, karena tingkat margin yang diberlakukan bank syariah lazimnya menggunakan going rate pricing, yaitu menggunakan tingkat suku bunga pasar sebagai rujukan. (Muhammad, 2005: 137). Inflasi juga berpengaruh terhadap UKM karena jika terjadi inflasi maka bank sentral akan menaikan bunga kemudian berdampak pada penaikan bunga oleh bank-bank umum yang akhirnya juga berdampak pada bank syariah sehingga bunga UKM ikut naik, juga dikarenakan jika terjadi inflasi dunia usaha akan mengalami kelesuan sebab permintaan agregat akan turun.
Keadaan seperti yang dijelaskan diatas, diilhami peneliti – peneliti terdahulu dalam melakukan penelitian, diantaranya Ningrum Muliyana (2002) melakukan penelitian tentang pengaruh peningkatan pendapatan, modal usaha, jumlah tanggungan, jumlah tenaga kerja, usia, gender, dan karakter terhadap alokasi pembiayaan usaha kecil pada BMT Mitra Sarana periode 2002. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ketujuh variabel berpengaruh simultan terhadap harga pembiayaan usaha kecil, secara parsial hanya modal usaha atau dana pihak ketiga yang berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan usaha kecil. Cokro Wahyu Sujati (2007) melakukan penelitian tentang pengaruh jumlah dana pihak ketiga, inflasi, dan mergin pada bank-bank umum terhadap alokasi kredit usaha kecil (KUK) pada bank-bank umum di Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa jumlah dana pihak ketiga mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi KUK, tingkat inflasi mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap alokasi KUK, sedangkan pada tingkat margin pembiayaan juga mempunyai pengaruh negative dan signifikan terhadap alokasi KUK.
Dengan adanya variabel – variabel yang mempengaruhi alokasi pembiayaan usaha kecil seperti tersebut diatas, penelitian ini akan difokuskan pada pengaruh variabel jumlah dana pihak ketiga, inflasi, dan tingkat margin terhadap alokasi pembiayaan UKM yang pada bank-bank syariah di Indonesia periode 2007-2009. Faktor-faktor apa saja yang menyebakan atau mempengaruhi pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari bank syariah layak untuk diteliti serta apakah ketentuan pembiayaan juga menjadi prioritas UKM untuk melakukan pembiayaan terhadap usahanya.
Berdasarkan kepentingan di atas Penulis berkeinginan untuk meneliti dan menganalisis pengaruh alokasi pembiayaan UKM dari bank syariah. Penelitian diharapkan dengan penelitian ini semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengannya dapat memanfaatkan hasil yang sebesar-besarnya. Penelitian ini oleh penulis dijadikan sebagai skripsi dengan judul “Pengaruh Jumlah Dana, Inflasi, dan Tingkat Margin Terhadap Alokasi Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (Studi pada Bank-Bank Syariah di Indonesia)”.

1.2.  Rumusan Masalah Contoh Skripsi Manajemen Keuangan
Dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apakah jumlah dana pihak ketiga, inflasi dan tingkat margin secara simultan  mempunyai pengaruh signifikan terhadap alokasi pembiayaan UKM  pada bank-bank syariah di Indonesia?
2.    Apakah jumlah dana pihak ketiga, inflasi, dan tingkat margin secara parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap alokasi pembiayaan UKM pada bank-bank syariah di Indonesia?
Manakah dari variabel jumlah dana pihak ketiga, inflasi dan tingkat margin yang berpengaruh dominan terhadap alokasi pembiayaan UKM pada bank-bank syariah di Indonesia

Selengkapnya terkait Contoh Skripsi Manajemen Keuangan : Judul PENGARUH JUMLAH DANA PIHAK KETIGA, INFLASI, DAN TINGKAT MARGIN TERHADAP ALOKASI PEMBIAYAAN USAHA KECIL DAN MENENGAH  (Studi pada Bank-Bank Syariah di Indonesia) Dari Mulai BAB I Hingga BAB 5 Penutup, silahkan cek di sini


CONTOH SKRIPSI EKOMONI MANAJEMEN JUDUL :PENGENDALIAN BIAYA OPERASIONAL GUNA MENINGKATKAN LABA USAHA PADA KOPERASI AGRO NIAGA (KAN) JABUNG MALANG (Periode 2005 - 2007)

SAYA MENCOBA LAGI POSTING CONTOH SKRIPSI EKOMONI MANAJEMEN JUDUL :PENGENDALIAN BIAYA OPERASIONAL GUNA MENINGKATKAN LABA USAHA PADA KOPERASI AGRO NIAGA (KAN) JABUNG MALANG (Periode 2005 - 2007)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Usaha membangun ekonomi tidak akan bisa berhenti, laju pertumbuhan terus berjalan, karena menyangkut kepentingan kemakmuran negara. Seiring dengan hal tersebut, koperasi dalam kaitannya dengan demokrasi ekonomi, sebagai organisasi atau lembaga ekonomi modern, memiliki peran dan fungsi penting dalam mengiringi pertumbuhan perekonomian, baik peran dan fungsi secara ekonomi maupun sosial. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 3 bahwa koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Tunggal, 2002:4). Pada dasarnya, gagasan pendirian koperasi dapat muncul dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat yang berkepentingan dan merasa perlu menjadi anggota koperasi. Oleh karenanya, anggota koperasi bisa terdiri dari petani, nelayan, pengrajin, dan lain sebagainya, yang mana berdasarkan aturan yang disepakati memang memiliki hak untuk itu. Dan tentunya pula hal tersebut didasarkan pada kesadaran akan urgensi koperasi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat (anggota) dan pertumbuhan perekonomian sebagaimana telah disebutkan di atas.
Sebagai suatu organisasi, koperasi juga menjalankan fungsi-fungsi manajemen organisasi, yakni perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengawasan. Di mana masing-masing dari fungsi-fungsi tersebut diharapkan mampu berjalan secara efektif dan efisien agar tujuan organisasi tercapai.
Dalam kegiatannya, koperasi tidak hanya bergerak di bidang jasa, misalnya simpan pinjam, namun juga bergerak di bidang produksi, misalnya pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Usaha-usaha tersebut diharapkan mampu tumbuh dan berkembang sehingga mampu menjamin kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Tentunya dalam hal usaha yang bersifat profit-oriented tersebut, koperasi dituntut untuk dapat melaksanakannya secara efektif dan efisien guna mendapatkan keuntungan (laba) yang optimal, walaupun pada prinsipnya koperasi bukanlah lembaga yang bertujuan semata-mata memperoleh keuntungan (laba) (Sudarsono, dkk., 2005:81). Hal ini menjadi tanggungjawab manajemen. Karena dalam struktur organisasi koperasi, pelaksanaan usaha sepenuhnya menjadi tanggungjawab manajemen (manajer dan karyawan). Dan oleh karenanya, pada awal pendirian koperasi, terdapat tahap pemilihan calon pengelola koperasi yang harus memiliki klasifikasi di antaranya mempunyai minat besar, jiwa kemasyarakatan, serta cita-cita yang tinggi untuk bekerja secara profesional bagi kepentingan orang banyak dan memiliki integritas kepribadian yang tinggi.
Pada setiap kegiatan usaha koperasi yang bersifat profit-oriented, tentunya tak lepas dari biaya operasional sebagai akibat dari usaha yang dilakukan, yang selanjutnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan (laba). Laba dalam koperasi disebut Sisa Hasil Usaha (SHU). SHU adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu periode akuntansi setelah dikurangi penyusutan dan biaya-biaya dari periode akuntansi yang bersangkutan (Sudarsono, dkk., 2005:112). Laba (SHU) koperasi tidak hanya mempunyai peran dan fungsi secara ekonomi, namun juga secara sosial. Karena laba yang diperoleh dari usaha yang diselenggarakan untuk anggota dalam prosentase tertentu akan dibagikan untuk dana sosial. Oleh karenanya, hal-hal yang mempengaruhi laba, misalnya biaya operasional, perlu diperhatikan koperasi. Laba dalam koperasi pada hakikatnya adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya (Sudarsono, dkk., 2005:112). Semakin besar laba yang diperoleh, maka semakin besar pula manfaat yang diperoleh.
Untuk mendapatkan laba secara optimal dan maksimum, perlu dilakukan pengendalian terhadap biaya operasional. Mengingat laba dalam koperasi mempunyai peran dan fungsi penting terhadap perekonomian masyarakat. Pengendalian menurut Makler dalam Stoner dkk., (1994) dalam Ernawati (2000:18) adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan standar kerja dengan perencanaan, merancang umpan balik informasi, membandingkan kinerja sesungguhnya dengan standar yang telah ditetapkan untuk mengetahui apakah ada penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut.
Sementara itu, Supriyono (2000:15-16) menyebutkan bahwa pengendalian sangat erat dengan perencanaan dan penganggaran. Dalam hal laba, perencanaan dan penganggaran sering disebut perencanaan laba (profit planning). Perencanaan dan penganggaran laba inilah yang kemudian dijadikan standar atau pedoman untuk dibandingkan dengan realisasi kerja. Selain itu juga untuk menentukan, meneliti dan menganalisa penyimpangan yang terjadi serta menentukan tindakan perbaikan yang diperlukan sebagai tolak ukur kinerja di masa yang akan datang.
Ernawati (2000) dalam penelitiannya tentang pengendalian biaya operasional pada PT. BPR Pulau Intan Sejahtera di Kabupaten Blitar menyebutkan bahwa pengendalian yang dilakukan oleh perusahaan (dalam hal ini BPR Pulau Intan Sejahtera) tersebut kurang baik, sehingga akibatnya realisasi biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada jumlah yang dianggarkan. Hal ini berakibat tidak adanya peningkatan laba bagi perusahaan, bahkan mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian mempunyai urgensi yang signifikan dalam hal perolehan dan peningkatan laba dalam suatu lembaga ekonomi, termasuk koperasi.
Memang pada kenyataannya, pertumbuhan dan perkembangan koperasi tidak sepesat dunia usaha pada umumya. Namun tidak sedikit koperasi yang berdiri di suatu daerah tertentu dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai memiliki aset yang tidak sedikit jumlahnya (Sholahuddin, 2006:111). Termasuk Koperasi Agro Niaga (KAN) Jabung yang terletak di kecamatan Jabung kota Malang, yang selanjutnya menjadi obyek penelitian penulis.
KAN Jabung, sebelumnya (tahun 1980) bernama KUD Jabung. KAN Jabung mulai bangkit dan berkembang sekaligus berubah nama menjadi KAN Jabung pada tahun 1985 setelah sebelumnya mengalami keterpurukan berkepanjangan yang mencapai klimaksnya pada tahun 1984. KAN Jabung hingga saat ini bergerak di bidang usaha Sapi Perah dan Tebu Rakyat sebagai usaha inti selain usaha-usaha penunjang lainnya, yakni di antaranya usaha swalayan, simpan pinjam, dan produksi pakan ternak dan sarana ternak lainnya (Sapronak). Usaha sapi perah merupakan usaha yang terkait langsung dengan sebagian besar anggota. Dalam hal ini, KAN Jabung memiliki anggota 1100 orang peternak dan mampu menghasilkan 15.000 liter susu per hari (Sumber: Profil KAN Jabung 2007).
Dengan semakin berkembangnya tiap-tiap usaha yang dilakukan KAN Jabung, maka biaya operasional yang diperlukan juga akan semakin besar. Karena pada setiap unit usaha tentu terdapat biaya-biaya tertentu yang diperlukan untuk proses produksi sesuai dengan kebutuhan masing-masing unit usaha. Tak terkecuali unit sapronak. Dan dapat kita ketahui bersama bahwa persaingan di bidang usaha produksi (manufaktur) sangatlah tinggi. Hal itu menuntut manajemen berusaha keras untuk membuat dan melaksanakan strategi bisnis yang kompetitif secara efektif dan efisien.
Tujuan dari suatu perusahaan pada umumnya adalah meningkatkan laba agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup usahanya dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Untuk mencapai tujuan tersebut di tengah ketatnya persaingan usaha tidaklah mudah, di mana setiap pengusaha berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh konsumennya. Tak terkecuali kegiatan unit sapronak KAN Jabung, baik pada anggota maupun bukan anggota. Kesadaran masyarakat terhadap peranan koperasi dalam perekonomian yang semakin tinggi, dapat menumbuhkan minat dan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.
Namun demikian, keadaan seperti ini tidak seharusnya menjadikan pihak pengelola koperasi terbawa arus persaingan dengan mengambil keputusan dan tindakan yang tidak rasional untuk memenuhi kebutuhan permintaan pasar. Tindakan yang tidak rasional ini misalnya, dengan memberikan potongan harga pembelian terutama bagi yang bukan anggota, memberikan hadiah tertentu yang bernilai tinggi, atau tindakan-tindakan lain yang pada dasarnya akan menaikkan biaya operasional koperasi.
Tindakan-tindakan tersebut dapat mengakibatkan penurunan laba usaha atau SHU. Sudah terbukti tidak sedikit koperasi yang dibubarkan karena mengalami kesulitan dana, memerlukan suntikan “dana segar” atau bahkan mengalami kebangkrutan, sebagaimana yang terjadi pada KAN Jabung pada tahun 1984, di mana pada waktu itu KAN Jabung yang masih bernama KUD Jabung tidak mampu lagi membayar kewajiban-kewajibannya, baik pada anggota maupun pada bank (Sumber: Profil KAN Jabung 2007). Semua ini terjadi karena manajemen operasionalisasi koperasi kurang efisien dan tanpa didasari perhitungan yang matang, sehingga biaya operasional tinggi dan selanjutnya laba operasional rendah. Kondisi seperti ini umumnya dialami oleh koperasi-koperasi kecil yang ruang lingkup pasarnya terbatas pada beberapa daerah saja.
Dengan semakin kompetitifnya persaingan usaha, tentu saja setiap pengelola usaha harus dapat bekerja dengan tingkat efisiensi tinggi dan dapat mengembangkan produk atau jasa, sesuai dengan kebutuhan yang tepat terhadap prosedur pengendalian yang ada dan jika memungkinkan dilakukan pengurangan atau pembenahan biaya. Serta perhitungan biaya dan laba perusahaan untuk periode akuntansi tahunan atau periode yang lebih singkat untuk memilih alternatif terbaik yang dapat menaikkan pendapatan atau penurunan biaya.
Dengan mempertimbangkan uraian di atas, dalam memilih tindakan yang ditempuh pihak manajemen KAN Jabung untuk meningkatkan keuntungan yang diterima, maka penulis berkeinginan untuk menyusun proposal penelitian ini dengan judul “PENGENDALIAN BIAYA OPERASIONAL GUNA MENINGKATKAN LABA USAHA PADA KOPERASI AGRO NIAGA (KAN) JABUNG MALANG" (Periode 2005 – 2007).
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana pengendalian terhadap biaya operasional yang dilakukan oleh pihak manajemen koperasi guna meningkatkan laba usaha?

2.      Bagaimana kebijakan penetapan biaya operasional yang ditetapkan oleh pihak manajemen?
Selengkapnya terkait CONTOH SKRIPSI EKOMONI MANAJEMEN JUDUL :PENGENDALIAN BIAYA OPERASIONAL GUNA MENINGKATKAN LABA USAHA PADA KOPERASI AGRO NIAGA (KAN) JABUNG MALANG (Periode 2005 - 2007) dari mulai BAB I hingga BAB 5 termasuk daftar pustaka silahkan kunjungi di sini

CONTOH SKRIPSI EKONOMI MANAJEMEN JUDUL :PELAKSANAAN PEMBIAYAAN Al-BA’I BITSAMANIL AJIL(BBA) BAGI USAHA KECIL (Studi pada Koperasi BMT–MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo)

Saya akan mencoba posting lagi terkait CONTOH SKRIPSI EKONOMI MANAJEMEN DENGAN JUDUL :PELAKSANAAN PEMBIAYAAN  Al-BA’I BITSAMANIL AJIL(BBA) BAGI USAHA KECIL  (Studi  pada Koperasi BMT–MMU Sidogiri  Pasuruan Cabang  Wonorejo)

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Peran strategis lembaga keuangan bank dan non bank adalah sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien ke arah peningkatan taraf hidup rakyat. Lembaga keuangan bank dan non bank merupakan lembaga perantara keuangan (financing intermediaries) sebagai prasarana pendukung yang amat vital untuk menunjang kelancaran perekonomian (Sholahuddin, 2006 : 3).
Dalam setiap aktivitas perekonomian nasional dunia perbankan telah memiliki peranan yang sangat penting. Sepanjang sejarah bank-bank yang telah ada dan dirasakan mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjembatani antara pemilik modal dengan pihak yang membuat dana (Sumitro, 1996 : 17). Penyebab utama kegagalan ini disebabkan adanya penggunaan sistem bunga yang selama ini diterapkan pada bank-bank konvensional. Kehadiran bank syari’ah merupakan bagian dari proses perbankan yang memperkenalkan jenis bank yang beroperasi sesuai dengan norma bermuamalah secara Islam dan merupakan langkah aktif dalam rangka rekonstruksi perekonomian. Masih banyak sektor kecil yang belum tersentuh oleh lembaga perbankan dan sampai sejauh ini keberadaan perbankan belum mampu memenuhi tuntutan tersebut.
Pada saat ini lembaga keuangan tidak hanya melakukan kegiatan berupa pembiayaan investasi perusahaan, namun juga telah berkembang menjadi pembiayaan untuk sektor konsumsi, distribusi, modal kerja dan jasa lainnya. Pada dasarnya lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank memiliki tugas yang sama yaitu menghimpun dana dan menyalurkan dananya. Dalam menghimpun dana dari masyarakat, lembaga keuangan perbankan dapat melakukannya dengan baik secara langsung  maupun tidak langsung (Arthesa dkk,  2006 :7).
Menurut Widodo (1999 : 5) bahwa bersamaan dengan fenomena semakin bergairahnya masyarakat untuk kembali ke ajaran agama, banyak bermunculan lembaga ekonomi yang berusaha menerapkan prinsip syariat Islam, terutama lembaga-lembaga keuangan seperti BMT (Baitul Mal Wattamwil).
Perkembangan BMT cukup pesat, hingga akhir 2001 PINBUK mendata ada 2938 BMT terdaftar dan 1828 BMT yang melaporkan kegiatannya (Sudarsono, 2007 : 99).Adapun rincian jumlah BMT tersebut adalah sebagai berikut :



Tabel 1.1
Jumlah BMT per Propinsi

Daerah
Terdaftar
Melaporkan kegiatan
Aceh
Sumut
Riau
Sumbar
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI
Jabar
Jateng
DI.Yogyakarta
Jatim
Bali
NTB
NTT
Kalbar
Kalteng
Kaltim
Kalsel
Sulut
Sulteng
Sulsel
Sultra
Maluku
Irian Jaya
76
156
65
60
12
65
20
42
165
637
513
65
600
15
93
8
15
10
24
17
62
11
244
23
21
18
50
80
51
48
9
32
13
8
15
433
447
42
519
9
41
5
11
6
14
9
36
7
110
12
13
5
Jumlah
2938
1828
Sumber : Sudarsono ( 2007 : 99)
Salah satu produk jasa pembiayaan Baitul Maal Wattamwil (BMT) syari’ah yang berdasarkan konsep dasar jual beli adalah al-Bai’ Bitsamanil Ajil (BBA) artinya pembelian barang dengan pembayaran cicilan. Proses pembiayaan ini merupakan bagian dari upaya lembaga keuangan syari’ah untuk mengangkat potensi ekonomi umat Islam terutama golongan ekonomi menengah ke bawah (Widodo, 1999 : 5).
Seperti yang telah diungkapkan oleh hasil penelitian Farida (2003) ia menjelaskan bahwa pembiayaan al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) membawa pengaruh yang baik kepada para pengusaha kecil yaitu dengan adanya produk pembiayaan al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) ini mereka (para usaha kecil) bisa memenuhi barang-barang kebutuhan yang mereka perlukan untuk menjalankan dan mengembangkan usahanya.
Dalam pembangunan nasional, usaha kecil adalah bagian integral dunia usaha yang merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, potensi, dan peran yang strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang berdasarkan demokrasi ekonomi. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kelangsungan suatu kegiatan usaha perlu didukung oleh permodalan dan sumber daya manusia yang memadahi. Namun dalam praktiknya usaha kecil seringkali kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan, satu dan lain hal karena suku bunga pinjaman yang tinggi dan berdasarkan analisis pembiayaan khususnya terkait dengan jaminan “dianggap” tidak memenuhi.
Dengan demikian BMT (Baitul Mal Wattamwil) sebagai lembaga keuangan yang mengemban misi bisnis (tijarah), sekaligus misi sosial (tabarru) sudah seyogyanya mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan sektor usaha kecil. Untuk kepentingan usaha kecil suatu BMT (Baitul Mal Wattamwil) hendaknya mampu secara cermat mengetahui kebutuhan nyata yang ada pada usaha kecil yang bersangkutan. Hal ini penting karena karakteristik produk pembiayaan yang ada pada BMT (Baitul Mal Wattamwil) bervariasi dan masing-masing hanya menjawab pada kebutuhan tertentu (http://www.islamic-finance.net/.)
Koperasi BMT-MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo merupakan lembaga keuangan syariah yang bertugas menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan. Salah satu jenis produk pembiayaan pada Koperasi BMT-MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo adalah al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA). Pembiayaan al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) merupakan konsep dasar jual beli yaitu dengan cara pembelian barang dengan pembayaran cicilan. Pada Koperasi BMT-MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo bahwa produk pembiayaan al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) banyak diminati oleh masyarakat sekitar Wonorejo dan masyarakat Pasuruan. Hal ini dikarenakan angsuran pembiayaan BBA sangat mempermudah para nasabah (usaha kecil) dalam melunasi pinjaman dan juga prosedur administrasinya tidak terlalu rumit.
Nasabah Koperasi BMT-MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo terdiri dari usaha kecil. Dalam hal ini usaha kecil juga membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Dalam  hal pembiayaan Al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) pada Koperasi BMT-MMU Sidogiri Cabang Wonorejo ini, nasabah khusus usaha kecil terdiri dari 17 orang dengan total pinjaman secara keseluruhan yaitu Rp. 848.333.000,00 yang dapat dirinci sebagai berikut :
Tabel 1.2
Contoh jenis usaha kecil di Koperasi BMT-MMU Sidogiri Cabang Wonorejo Pasuruan

No
Jenis Pedagang
Pinjaman
Jml
Margin
1.
2.

3.

4.
5
Usaha mebel
Usaha peralatan rumah tangga
Pedagang dipasar grosir (agen)
Usaha kerajinan tangan
Pedagang pakaian jadi

Rp. 60.000.000,00
Rp. 35.000.000,00

Rp. 60.000.000,00

Rp. 35.000.000,00
Rp. 38.333.000,00

5
4

5

2
1







Sesuai dengan kesepakatan yaitu 2 % - 2,5  per bulan
Jumlah
Rp. 848.333.000,00
17
Sumber : Data diolah (BMT-MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo)
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas,peneliti tertarik untuk meneliti dan menyusun skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembiayaan al-Ba’i Bitsamanil Ajil (BBA) Bagi Usaha Kecil (Studi  pada BMT– MMU Sidogiri  Pasuruan Cabang Wonorejo) ”.

B. Rumusan Masalah
 Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dan agar penelitian ini dapat mencapai sasaran maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pelaksanaan pembiayaan al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) bagi usaha kecil  di Koperasi BMT MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo?

2.      Apa saja kendala dan solusi pembiayaan al-Ba`i Bitsamanil Ajil (BBA) bagi usaha kecil di Koperasi BMT MMU Sidogiri Pasuruan Cabang Wonorejo?
Selengkapnya terkait CONTOH SKRIPSI EKONOMI MANAJEMEN JUDUL :PELAKSANAAN PEMBIAYAAN  Al-BA’I BITSAMANIL AJIL(BBA) BAGI USAHA KECIL  (Studi  pada Koperasi BMT–MMU Sidogiri  Pasuruan Cabang  Wonorejo) Dari BAB I Hingga BAB 5 Pentutup termasuk daftar pustaka Silahkan cek di sini

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...