SKRIPSI HUKUM TATA NEGARA TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEGAWAI NEGERI SIPIL WANITA YANG MENJADI ISTRI KEDUA/KETIGA/KEEMPAT

1. BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa makhluk lain, yang mana dalam kesehariannya, manusia dituntut untuk berinteraksi dengan orang lain. Manusia juga dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat berkembang biak dan meneruskan keturunannya. Dalam menjalankan proses
tersebut, manusia harus melakukan perkawinan, yang mana menurut aturan hukum Indonesia harus terikat dalam suatu hubungan yang dinamakan perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu fitrah manusia yang diberikan oleh Maha pencipta, agar dapat menjadi sarana atau lembaga untuk membina kepribadian
yang sempurna. Oleh karena ia sebagai fitrah, maka lembaga perkawinan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan umat manusia. Itulah sebabnya sehingga lembaga perkawinan selalu eksis dari masa ke masa dan dalam semua peradaban umat manusia.1 Bahkan, menurut Hilman Hadikusuma (1990:1) perkawinan merupakan perilaku makhluk Allah SWT agar kehidupannya didunia dapat berkembang. Oleh sebab itu, perkawinan selalu terikat dengan perilaku umat manusia sepanjang zaman. Untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan dalam kehidupan umat manusia diperlukan aturan hukum yang dapat menjadi sarana pengaturan penyelesaian kasus-kasus yang terikat dengan perkawinan.22 Perkawinan ialah perilaku makhluk Allah SWT sehingga aspek perkawinan dijadikan sebagai bagian dari ajaran agama, seperti agama Islam, Kristen, Yahudi diseluruh dunia sampai saat ini mendapat pengaturan dalam hukum disemua Negara di Indonesia. Aturan hukum di Indonesia yang terkait dengan perkawinan ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Namun setelah berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (selanjutnya disebut UUP), maka KUHPerdata dan peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan tidak berlaku lagi dan semua aspek yang terikat dengan perkawinan telah diatur
tersendiri diluar KUHPerdata. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari konstitusi (UUD 1945 sebelum amandemen) Negara, yang secara tegas merupakan realisasi dari pasal 29 UUD 1945. Pasal tersebut mengamatkan kepada pemerintah untuk membuat ketentuan hukum tentang perkawinan diluar Indonesia agar terdapat unifikasi hukum perkawinan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat
Indonesia. Dalam kaitan itu, hukum perkawinan di Indonesia terbagi menjadi tiga stelsel hukum yang menjadi sumber hukum, yaitu Hukum Positif (UUP), hukum Islam dan Hukum Adat. Hukum Positif secara tegas diatur dalam UUP yang berlaku bagi semua warga Negara Indonesia, dan hukum adat yang sifatnya asesoir agama tidak bertentangan dengan UUP yang berlaku secara tradisional menurut adat masing-
masing etnis, dan hukum Islam yang berlaku bagi kalangan orang Islam telah diatur dalam Impres No.1 Tahun 1991 tentang impilasi hukum Islam (selanjutnya disebut KHI).33 Semua aturan hukum tersebut menjadi acuan dalam rangka mendukung terbentuknya keluarga sejahtera sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) UUP juncto pasal 2 ayat (1) KHI. Pengaturan perkawinan dalam tiga stelsel hukum tersebut secara filosofis mengandung nilai intrinsik yaiitu keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan
utama dalam perkawinan baik secara tersirat maupun tersurat merupakan ajaran Allah SWT yang harus menjadi bagian dari perilaku manusia. Bahkan, dalam ajaran tertentu, misalnya agama Islam dan Kristen menepatkan nilai keadilan sebagi komponen utama yang harus dicapai dalam suatu perkawinan.4
Dalam agama Islam, misalnya menghendaki agar nilai keadilan ditempatkan sebagai komponen utama dalam semua perilaku yang terkait5 dengan perkawinan, seperti pembagian harta, tanggung jawab suami istri, pemeliharaan anak dan termasuk jika beristri lebih dari satu (poligami). Poligami sebagai salah satu aspek
perilaku dalam perkawinan mendapat tempat hukum perkawinan di Indonesia. Hanya saja melalui beberapa syarat yang disebut sebagai pengaturan tentang poligami dalam hukum perkawinan di Indonesia; merupakan suatu perbuatan dibolehkan dan bukan merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum perkawinan yang berlaku. Pemberian kebolehan poligami sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang diatur dalam hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang Perkawinan, Hukum Adat dan Hukum Islam). Dimasukkannya aspek poligami sebagai bagian dari perilaku makhluk Allah, oleh karena poligami
tidak mungkin diabaikan oleh manusia termasuk aturan hukumnya.5 Hukum perkawinan yang mengatur poligami sebagai sesuatu yang boleh dilakukan oleh seorang suami asal sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur, terutama yang diatur dalam UUP dan peraturan pelaksanaanya serta kompilasi hukum Islam. Beberapa peraturan pelaksanaan yang terikat dengan poligami,seperti PP No.10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Yang mengatur syarat-syarat perkawinan sebagai aturan hukum yang mengatur sebagai tegas tentang perkawinan, perceraian, pembagian harta, dan
tanggung jawab suami istri. Salah satu dampak yang berkaitan dengan poligami adalah masalah tanggung jawab suami terhadap istri dan anak-anak yang masih dalam tanggungannya.
Pasal 30 sampai dengan pasal 34 UUP mengatur tentang “hak dan kewajiban suami istri” dalam perkawinan. Dalam praktek poligami apakah memungkinkan adanya keadilan dalam poligami jika dikaitkan dengan hak dan kewajiban terhadap istri dan anak-anaknya (pasal 45 dan pasal 54 UUP).
Aturan hukum di Indonesia memungkinkan untuk dilakukannya poligami oleh seorang pegawai negeri sipil (PNS) aturan tersebut terdapat pada PP No.10 Tahun 1983 jo. PP No.45 Tahun 1990 tentang izin perkawinan pegawai negeri sipil. Berkaitan dengan poligami seorang wanita yang berstatus pegawai negeri sipil dilarang untuk menjadi istri kedua. Hal ini diatur dalam pasal 4 ayat (2), Jika melanggar sanksinya pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS (pemecatan). Tapi jika PNS laki-laki ingin menikah untuk kedua kali dan seterusnya, tidak menjadi masalah yang penting ia dapat memenuhi ketentuan yang berlaku.
Kalaupun ia nekad menikah lagi meskipun tidak dizinkan sanksinya hanyalah salah satu hukuman disiplin tingkat berat, dalam artian tidak langsung dipecat.6 Aturan ini mendiskrimasi wanita. Padahal dalam ketentuan pengangkatan PNS yakni PP Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan PNS jo PP Nomor 11 Tahun 2002 tidak ada larangan bagi mereka yang menjadi istri kedua/ketiga/keempat mendaftar dan diangkat menjadi CPNS. Tapi begitu PP Nomor 45 Tahun 1990 diterapkan, setelah ia diangkat menjadi CPNS/PNS harus dipecat. Sebelumnya saya juga telah mengadakan pra penelitian di kabupaten pangkajene tepatnya di Kantor Pengadilan Agama Pangkajene. Disana saya dilayani dengan baik dan sesuai dengan maksud saya yaitu mengadakan wawancara kepada salah seorang panitera yang memang khusus menerima berbagai kasus yang diajukan oleh masyarakat, saya bertanya kepada panitera tersebut bahwa apakah di Kantor Pengadilan Agama Pangkajene ini terdapat kasus yang unik dalam artian kasus yang jarang terjadi, lalu panitera tersebut menanggapi maksud saya dan ia mulai menceritakan sebuah kasus yang
menurut saya menantang Oleh karena itulah penulis merasa tertarik untuk mengangkat permasalahan ini kedalam sebuah karya tulis skripsi sebagai tugas akhir penulis dalam menyelesaikan pendidikan strata I pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dengan mengangkat judul: “Tinjauan Hukum Terhadap
Pegawai Negeri Sipil Wanita Yang Menjadi Istri Kedua/Ketiga/Keempa 

B. Rumusan Masalah
Mengapa Pegawai Negeri Sipil Wanita harus memperoleh izin dari atasan yang berwenang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat?
1. Apa dampak atau akibat hukumnya jika Pegawai Negeri Sipil Wanita tersebut tidak mendapatkan izin oleh atasan yang berwenang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada penulisan karya ilmiah ini adalah: 
1. Untuk mengetahui alasan Pegawai Negeri Sipil Wanita yang harus meminta izin kepada atasan yang berwenang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
2. Untuk mengetahui dampak atau akibat terhadap Pegawai Negeri Sipil Wanita yang menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian pada penulisan karya ilmiah ini adalah : 
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/ sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terlibat di dalam mekanisme Pegawai Negeri Sipil khususnya wanita.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum terkhusus dalam bidang Hukum Tata Negara, terkait mengenai izin perkawinan Pegawai Negeri Sipil.
Selengkapnya terkait contoh skripsi hukum tata negara dari mulai BAB1 sampai BAB5 Penutup silahkan miliki di sini
Print Friendly and PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...