1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dihiaskan kepada manusia,
mencintai syahwatnya (keinginan nafsu), seperti perempuan-perempuan, anak-anak
dan harta benda yang banyak, dari emas, perak, kuda yang bagus,
binatang-binatang ternak dan tanaman. Demikian itulah kesukaan hidup di dunia
dan di sisi Allah tempat kembali yang sebaik-baiknya, (yaitu surga) (Q.S. Ali imran :
14).
Dari dekade ke
dekade arah pembangunan pertanian Indonesia selalu diupayakan untuk membentuk
negara industri pertanian. Upaya ini ditujukan dengan dukungan pemerintah
melalui pengembangan agribisnis dan agroindustri berbagai jenis komoditas
pertanian. Seperti hortikultura, perikanan dan
peternakan masih memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi nasional (Winarno, 1990).
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang dua pertiga wilayah negaranya adalah laut dan
lautan dengan 13.667 buah pulau besar maupun kecil, serta mempunyai garis
pantai terpanjang di dunia yaitu kurang lebih 80.791,42 km. Selain itu kekayaan
alam (flora dan fauna), dengan tingkat pencemaran relatif rendah (0,2 %)
dibandingkan banyaknya kekayaan alam yang kurang dimanfaatkan secara optimal.
Sektor perikanan tidak kalah
pentingnya dengan sektor lainnya dalam bidang pertanian, karena Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau besar dan kecil yang
dikelilingi laut sehingga secara potensial memiliki kekayaan perikanan cukup
besar. Salah satu sumber daya hayati laut Indonesia
yang cukup potensial adalah rumput laut atau dikenal dengan sebutan lain
ganggang laut, seaweed atau atau
agar-agar merupakan bagian terbesar dari tanaman laut. Sejak zaman dulu,
rumput laut telah digunakan manusia sebagai makanan dan obat-obatan. Konon
orang Yunani kuno dan Romawi memahami potensi dan jenis rumput laut dengan
baik. Mereka telah memanfaatkan rumput laut sewaktu negerinya dilanda kelaparan
dan juga digunakan sebagai bekal pada waktu mengarungi lautan. Dimana telah
berabad-abad lamanya negeri Cina menggunakan rumput laut sebagai jenis makanan
istimewa sehingga dianggap pantas untuk disajikan pada kaisar. Demikian juga
halnya di Jepang, sejak zaman neolitik rumput laut telah dijadikan bahan
makanan. Di negeri tersebut rumput laut mendapat tempat yang baik dalam
masyarakat setempat. Orang Jepang menganggap rumput laut sebagai jenis makanan
yang penting. Oleh karena itu, begitu banyak nama diberikan untuk rumput laut
seperti ; hijiki, nori, arame, teugusa, kambu dan sebagainya. Di samping sebagai
bahan makanan dan obat-obatan, rumput laut dapat pula diolah menjadi produk
komersial dari berbagai jenis getah rumput laut. Getah rumput laut sangat luas
penggunaannya terutama sebagai bahan mentah industri dalam negeri serta bahan
ekspor non migas (Winarno, 1990).
Rumput laut yang
merupakan kultur air laut adalah salah satu komoditi perikanan yang mempunyai
nilai ekonomis tinggi. Pendapat ini diambil dengan pertimbangan usaha budidaya
rumput laut tergolong usaha yang paling mudah dan murah serta dengan penawaran
keuntungan yang besar pula. Hanya bermodalkan keterampilan, kesabaran,
keuletan, serta sedikit pengetahuan, orang sudah dapat melakukan usaha budidaya
rumput laut. Hal tersebut ditunjang pula dengan keadaan perairan Indonesia
sendiri yang strategis dan memadai.
Salah satu dari jenis rumput laut yang sudah dibudidayakan
secara intensif adalah Eucheuma sp di
wilayah perairan pantai. Hasil proses ekstraksi rumput laut banyak dimanfaatkan
sebagai bahan makanan atau sebagai bahan tambahan untuk industri makanan,
farmasi, kosmetik, tekstil, kertas, cat dan lain-lain. Selain itu digunakan
pula sebagai pupuk hijau dan komponen pakan ternak maupun ikan.
Dengan semakin luasnya pemanfaatan hasil olahan rumput laut
dalam berbagai industri, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan rumput laut
Eucheuma sp sebagai bahan baku.
Selain untuk kebutuhan ekspor, pangsa pasar dalam negeri cukup penting karena
selama ini industri pengolahan rumput laut sering mengeluh kekurangan bahan
baku. Menurut APBIRI (Asosiasi Pengusaha Budidaya dan
Industri Rumput laut Indonesia), kelangsungan industri rumput laut nasional
terancam kekurangan bahan baku akibat sedikitnya pasok dari nelayan dalam
membudidayakan sumber daya alam dari kelautan tersebut (Bachtiar, 1996).
Sebagai salah
satu sumber daya hayati yang merupakan komoditas asli laut, budidaya rumput
laut di Indonesia belum dilakukan secara optimal. Sentra produksi rumput laut
yang sudah berkembang di Indonesia terdapat di Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Sulawesi Selatan. Sedangkan daerah perairan pantai Jawa Timur dan Maluku
merupakan potensi yang penting yang belum terolah secara luas dan berhasil
guna (Anonymous, 1989).
Melihat peluang tersebut, pengembangan komoditas rumput laut
memiliki prospek yang cerah karena memiliki nilai ekonomis yang penting dalam
menunjang pembangunan perikanan baik kaitannya dengan peningkatan ekspor non
migas, penyediaan bahan baku industri dalam negeri, peningkatan konsumsi dalam
negeri maupun meningkatkan pendapatan petani/nelayan serta memperluas lapangan
kerja.
Karena wilayah
perairan Jawa Timur sangat luas, maka pemilihan lokasi budidaya adalah
merupakan langkah penting pertama untuk menentukan keberhasilan usaha. Untuk
daerah Jawa Timur lokasi potensial bagi pengembangan potensi rumput laut adalah
Pacitan, Banyuwangi, dan Kepulauan Sumenep (Hety et al, 1992). Di Jawa Timur usaha budidaya rumput laut banyak
dilakukan dalam skala rumah tangga atau sebagai usaha sampingan. Usaha-usaha
tersebut banyak dijumpai di Desa Pekandangan Barat, Kecamatan Bluto, Kabupaten
Sumenep dimana rumput laut yang dibudidayakan pada rakit-rakit sepanjang pantai
di Sumenep.
Dalam rangka
usaha meningkatkan produksi dan pendapatan dari petani rumput laut hendaknya
juga diperhatikan melalui pendekatan pemasaran, sebab pemasaran rumput laut yang
baik akan merupakan salah satu faktor penunjang di dalam pengembangan di bidang
perikanan. Pengetahuan tentang pemasaran amat diperlukan, sebab pemasaran
menempatkan pembeli sebagai pusat kegiatan pemasaran. Hal ini berati bahwa
kebutuhan dan keinginan pembeli termasuk dalam produk yang ditawarkan.
Kegagalan untuk melakukan hal tersebut dapat berakibat fatal, sebab produksi
dan pemasaran barang-barang yang tidak didasarkan pada kebutuhan pasar
kemungkinan besar akan gagal (Swastha, 1980).
Menurut Drucker
(1973), pemasaran adalah cara memandang perusahaan dari hasil akhirnya, yaitu
dari pandangan pelanggannya. Keberhasilan suatu bisnis bukan hanya ditentukan
oleh produsennya melainkan konsumennya.
Sistem pemasaran
hasil perikanan di Indonesia sampai saat sekarang masih tradisional, karena
usaha pembaharuan belum dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Oleh karena
itu kegiatan pemasaran yang tidak efisien menyebabkan biaya pemasaran menjadi
tinggi. Pemasaran yang tetap tradisional akan menyebabkan tingkat harga yang
tidak menguntungkan produsen maupun konsumen (Sutrisno, 1973).
Hasil akhir
suatu pemasaran berdasarkan hubungan yaitu membangun suatu aset perusahaan
berupa jaringan pemasaran. Jaringan pemasaran terdiri dari suatu perusahaan
dengan pemasok, distributor dan pelanggannya dimana sudah terdapat suatu
hubungan bisnis yang kuat dan dapat diandalkan (Kotler, 1995).
Mata rantai
pemasaran rumput laut di Indonesia, mulai dari para nelayan (produsen) yaitu
masih panjang. Rantai pemasaran tersebut dimulai dari pedagang pengumpul,
pedagang besar, dan eksportir antar pulau. Panjang pendeknya mata rantai
pemasaran ini akan berkaitan dengan efisiensi pemasaran (Winarno, 1990).
Dalam pemasaran
rumput laut tidak lepas dari badan-badan penyelenggara kegiatan pemasaran baik
itu pedagang pengumpul, pedagang perantara maupun pedagang besar serta eksportir.
Menurut Hety et al (1992), pedagang
pengumpul adalah sekelompok pedagang yang melakukan aktivitas serta produksi
yang biasanya adalah penduduk desa penghasil. Kegiatan dilakukan dalam bentuk
usaha perorangan secara kecil-kecilan. Secara umum kegiatan kelompok ini
mengumpul, menyimpan, membiayai (pinjaman kepada petani atau nelayan dan sewa
gudang) dan membungkus.
1.2 Perumusan Masalah
Arus barang
niaga hasil perikanan pada umumnya melalui proses pengumpulan (konsentrasi),
pengembangan (equlisasi) dan penyebaran (dispersi) (Hanafiah dan Saefuddin,
1983). Adapun sistem pemasaran atau tata niaga rumput laut terbentuk atas dasar
jenis rumput laut. Petani rumput laut menjual kepada pedagang pengumpul,
kemudian pedagang pengumpul menjual ke pedagang besar atau langsung kepada
pedagang eksportir. Dengan sistem pemasaran seperti ini terlihat bahwa posisi
petani demikian lemahnya, lebih-lebih para petani tersebut tingkat pemahaman
akan tata niaga yang belum baik atau
sedikit sekali mendapat informasi harga di pasar. Pemasaran suatu produk
dikatakan mempunyai efisiensi yang tinggi, apabila telah bekerja pada margin
pemasaran yang rendah. Hal ini berarti keuntungan yang didapat pedagang
perantara tidak terlalu tinggi sehingga konsumen dapat menerima dengan harga
yang wajar.
Suatu usaha dengan keuntungan yang
tinggi belum tentu mencerminkan suatu usaha tersebut efisien dalam menghasilkan
keuntungan. Efisien tidaknya dalam menghasilkan keuntungan dapat dilihat dari
nilai imbalan dari modal yang digunakan dalam usaha pemasaran rumput laut.
Untuk mengetahui besarnya imbalan dari modal yang digunakan, dapat dilakukan
dengan perhitungan Return to Total Capital. Di dalam pemasaran rumput laut
untuk mengetahui prospek masa depanya perlu diketahui hubungan antara volume penawaran
dengan tingkat harga yang terjadi.
Adapun yang menjadi permasalahan
pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pelaksanaan usaha
pemasaran di tingkat pedagang pengumpul ?
2.
Berapa besar permodalan, biaya
pemasaran serta keuntungan yang didapat di tingkat pedagang pengumpul ?
3. Berapa besar harga dan volume penjualan
rumput laut di tingkat pedagang pengumpul ?
4.
Berapa imbalan modal dari modal
usaha yang digunakan di tingkat pedagang pengumpul ?
5.
Berapa besar nilai margin
pemasaran di tingkat pedagang pengumpul ?
6.
Sejauh mana hubungan harga
dengan volume penawaran yang terjadi di tingkat pedagang pengumpul ?
7.
Apa faktor-faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan usaha pemasaran di tingkat pedagang pengumpul ?
Selengkapnya terkait Contoh Skripsi Pemasaran dengan judul: Usaha Pemasaran Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) Di Tingkat Pedagang Pengumpul Di Desa Pekandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep Dari mulai BAB I Hingga BAB V silahkan kunjungi di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar