BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sejak
awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan
renaissance Islam modern : neorevivalis dan modernis. Tujuan utama dari
pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai
upaya kaum muslim untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
berlandaskan Al – Quran dan As – Sunnah.
Upaya
awal penerapan system profit dan loss sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia
sekitar tahun 1940-an , yaitu adanya upaya mengelola dana jemaah haji secara
nonkonvensional. Rintisan intitusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di
desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo Mesir.
Setelah
dua rintisan awal yang cukup sederhana ini, bank Islam tumbuh dengan sangat
pesat yang beroperasi diseluruh dunia, baik dinegara-negara yang berpenduduk
muslim maupun di Eropa, Australia maupun Amerika.
Satu
hal yang juga patut dicatat adalah saat ini banyak nama besar dalam dunia
keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase Chemical
Bank, Goldman Sech, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiaries yang
berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar
modal pun, Islamic fund kini ramai diperdagangkan, suatu hal yang mendorong singa
pasar modal dunia Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index .
Oleh
karena itu tak heran jika Scharf, mantan direktur utama bank Islam Denmark yang
non muslim itu, menyatakan bahwa bank
Islam itu adalah partner baru pembangunan.
Berkembangnya
bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal
periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam
mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah
1. Karnael
A. Purwataatmaja,
2. M.
Dewam Rahardjo, A,
3. M.
Saefuddin ,
4. M.
Amien Azis, dan lain-lain.
Beberapa
uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Diantaranya adalah
Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh mengesankan. Di Jakarta juga
dibentuk lembaga serupa yang berbentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi,
prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan
pada tahun 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua
Bogor Jawa Barat. Hasil Lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah
Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus
1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI , dibentuk kelompok kerja untuk
mendirikan bank Islam di Indonesia. (M. Syafi’i Antonio, 2001)
Kelompok
kerja yang disebut Tim perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan
konsultasi dengan semua pihak terkait.
Perkembangan
perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang
No 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan landasan hukum
serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank
syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonvensi diri secara
total menjadi bank syariah.
Peluang
tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat perbankan. Sejumlah bank
mulai memberikan pelatihan dalam bidang perbankan syariah bagi para stafnya.
Sebagian bank tersebut ingin menjajaki untuk membuka divisi atau cabang syariah
dalam institusinya. Sebagian lainnya bahkan berencana mengkonvensi diri secara
total menjadi bank syariah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia
dengan mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah” bagi para pejabat Bank
Indonesia dari segenap bagian, terutama terutama aparat yang terkait langsung
seperti DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit,
pengawasan, akuntansi, riset, dan moneter.
Bank
Syariah Mandiri (BSM) merupakan bank milik pemerintah pertama yang melandaskan
operasionalnya pada prinsip syariah. Secara structural, BSM berasal dari Bank
Susila Bakti (BSB), sebagai salah satu anak perusahaan dilingkup Bank Mandiri
(ex BDN), yang kemudian dikonversikan menjadi bank syariah secara penuh.
Satu
perkembangan lain perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi adalah
diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi bank syariah.
Dalam
beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama
pada sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang
digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP,
proposal, laporan keuangan, dan sebagainya. Akan tetapi, terdapat banyak
perbedaan mendasar diantara keduanya. Perbedaan itu menyangkut aspek legal,
stuktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja. (Adiwarman Karim
, 2002)
Dalam
bank syariah , akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali nasabah berani
melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah dilakukan bila hukum itu hukum
positif belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki
pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.
Setiap
akad dalam perbankan syariah , baik dalam hal barang, perilaku transaksi,
maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal
berikut,
1. Rukun
Seperti :
- penjual,
-
pembeli,
-
barang,
-
bunga,
-
akad/ ijab-qabul
2. Syarat
Seperti syarat berikut :
-
Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas
barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
-
Harga barang dan jasa harus jelas.
-
Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan
berdampak pada biaya transportasi.
-
Barang boleh ditransaksikan harus sepenuhnya dalam
kepemilikan.
Bank
syariah dapat memiliki stuktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya
dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang membedakan adalah harus
adanya Dewan Pengawas Syariah yang
bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan
garis-garis syariah.
Dewan
Pengawas Syariah biasanya diletakan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada
setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dan setiap opini yang diberikan
oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penempatan Badan Pengawas
Syariah dilakukan oleh Rapat. Umumnya Pemegang Saham, setelah para anggota
Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Dalam
bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari saringan
syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai usaha yang
terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan.
Dalam
perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut,
1. Apakah objek
pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah proyek
menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat ?
3. Apakah proyek
berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila ?
4. Apakah
proyek berkaitan dengan penjudian ?
5. Apakah
usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang illegal atau berorientasi pada
pengembangan senjata pembunuh masal ?
6. Apakah
proyek dapat merugikan syiar islam, baik secara langsung maupun tidak langsung
?
Perbandingan
antara bank syariah dan bank konvensional disajikan dalam tabel 1.1 berikut
ini,
Tabel 1.1
Perbandingan antara bank syariah dengan bank konvensional
BANK ISLAM
|
BANK KONVENSIONAL
|
|
|
Sumber : Bank Indonesia, Biro Perbankan Syariah
Menurut
sifat penggunaannya, pembiayaan pada bank dapat dibagi menjadi dua hal berikut,
1. Pinjaman
produktif
Yaitu pinjaman yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti
luas yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun
investasi.
2. Pinjaman
konsumtif
Yaitu pinjaman yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi
kebutuhan.
Menurut
keperluannya, pinjaman produktif dapat dibagi menjadi dua hal berikut.
1. Pinjaman
modal kerja
Yaitu pinjaman untuk memenuhi kebutuhan
a. peningkatan
produksi
b. untuk
keperluan perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
2. Pinjaman
investasi
Yaitu pinjaman untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods)
serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan itu.
Bank
konvensional memberikan kredit kerja dengan cara memberikan pinjaman sejumlah
uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi
dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi
maupun perdagangan dalam waktu tertentu,dengan imbalan berupa bunga.
Bank
syariah dapat membantu seluruh kebutuhan modal kerja tersebut bukan dengan
meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin hubungan partner ship dengan nasabah,
dimana bank bertindak sebagai pengusaha penyandang dana (shahibul maal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha
(mudharib). Skema pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah (trust
financing). Fasilitas ini dapat diberikan dalam jangka waktu tertentu, sedangkan
bagi hasil dibagi secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh
tempo, nasabah mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil
(yang belum dibagikan) yang menjadi bagian bank.
Bank syariah dapat menyediakan pinjaman
komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi dengan menggunakan skema
berikut ini,
1. Al-bai’bi
tsaman ajil atau jual beli dengan angsuran
2. Al-ijarah
al-muntahia atau sewa beli
3. Al-musyarakah
mustanaqhishah atau decresing participation, dimana secara bertahap bank
menurunkan jumlah partisipasinya.
4. Ar-Rahn
untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan
konsumsi tersebut diatas lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder.
Adapun kebutuhan primer pada umumnya tidak dapat dipenuhi dengan pinjaman
komersil. Seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir
atau miskin. Oleh karena itu, ia wajib diberi zakat atau sedekah, atau maksimal
diberikan pinjaman kebajikan (al-qardh al-hasan), yaitu pinjaman dengan
kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apapun.
Dalam
perbankan syariah, sebenarnya penggunaan kata pinjam-meminjam kurang tepat
digunakan disebabkan dua hal. Pertama, pinjaman merupakan salah satu metode hubungan
financial dalam islam. Kedua, dalam islam pinjam-meminjam adalah akad sosial,
bukan akad komersial. Artinya, bila seseorang meminjam sesuatu, ia tidak boleh
disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjaman. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW. Yang
mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat atau riba, sedangkan
para ulama sepakat bahwa riba itu haram. Karena itu pada perbankan syariah,
pinjaman tidak disebut kredit, tetapi pembiayaan (financing).
Seperti
dalam perbankan konvensional, perbankan syariah memetapkan syarat-syarat umum
untuk sebuah pinjaman, seperti hal-hal berikut,
1.
Surat permohonan tertulis, dengan dilampiri proposal yang
memuat gambaran umum usaha, rencana atau prospek usaha, rincian dan rencana
penggunaan dana, jumlah kebutuhan dana, dan jangka waktu penggunaan dana.
2.
Legalitas usaha, seperti identitas diri, akta pendirian
usaha, surat izin umum perusahaan, dan tanda daftar perusahaan.
3.
Laporan keuangan, seperti neraca dan laporan rugi laba,
data persediaan terakhir, data penjualan, dan fotokopi rekening bank.
Contoh-contoh
perhitungan praktis :
1. Al-Murabahah
Misalkan seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Ia dapat memohon
kepada bank syariah agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan
dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan memberikannya kepada nasabah.
Jika harga motor tersebut Rp 4.000.000,00 dan bank ingin mendapatkan keuntungan
Rp 800.000,00 selama dua tahun, maka harga yang ditetapkan kepada nasabah
sebesar Rp 4.800.000,00. Nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp 200.000,00
perbulan.
2. Bai’as-Salam
Seorang petani memerlukan dana sebesar Rp 2.000.000,00 untuk mengolah
sawahnya seluas 1 hektar. Ia datang ke bank dan memohon permohonan dana untuk
keperluan itu. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan , bank
memerlukan akad bai’as-Salam dengan petani, dimana bank akan membeli gabah,
misalnya, jenis IR dari petani untuk jangka waktu 4 bulan sebanyak 2 ton dengan
harga
Rp 2.000.000,00. Pada saat jatuh tempo, petani harus menyetor gabah yang
dimaksud kepada bank. Jika bank tidak memerlukan gabah untuk keperluannya sendiri, bank dapat
menjualnya kepada pihak lain, atau meminta petani mencarikan pembelinya dengan
harga yang lebih tinggi, misalnya Rp 1.200,00 perkilogram. Dengan demikian,
keuntungan bank dalam hal ini adalah Rp 400.000,00 atau
(Rp 200,00 x 2000 kg).
3. Bai’al-Istishna
Seorang yang ingin membangun atau merenovasi rumah dapat mengajukan
permohonan dana untuk keperluan itu dengan cara bai’al-Istishna, bank berlaku
sebagai penjual yang menawarkan pembangunan/renovasi rumah. Bank lalu
membeli/memberikan dana, misalnya Rp 30.000.000 secara bertahap. Stelah rumah
itu jadi, secara hukum Islam rumah/ hasil renovasi rumah itu masih menjadi
milik bank dan sampai tahap ini akad istisna sebenarnya telah selesai. Karena
bank tidak ingin memiliki rumah tersebut, bank menjualnya kepada nasabah dengan
harga yang disepakati, misalnya Rp 39.000.000,00 dengan jangka waktu pembayaran
3 tahun. Dengan demikian, bank memperoleh keuntungan Rp 9.000.000,00.
4. Al-Mudharabah
Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan
permohonan untuk pembiayaan bagi hasil
seperti mudharabah, dimana bank bertindak sebagai shahibul maal dan
nasabah selaku mudharabah. Caranya adalah dengan mengitung dulu perkiraan
pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya,
dari modal Rp 30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp 5.000.000,00 per bulan.
Dari pendapatan itu harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal
misalnya Rp 2.000.000,00 selebihnya dibagikan antara bank dengan nasabah dengan
kesepakatan dimuka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank.
5. Musyarakah
Pak Budi adalah seorang pengusaha yang akan melaksanakan suatu proyek.
Usaha tersebut memerlukan modal Rp 100.000.000,00. Ternyata setelah dihitung,
Pak Budi hanya memiliki Rp 50.000.000,00 atau 50% dari modal yang diperlukan.
Pak Budi kemudian datang ke sebuah bank syariah untuk mengajukan pembiayaan
dengan skema musyarakah. Dalam hal ini, kebutuhan terhadap modal Rp 100.000.000
dipenuhi oleh nasabah 50% dan 50% dari bank. Setelah proyek selesai, nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk
bank. Seandainya keuntungan dari proyek itu Rp 20.000.000 dan nisbah atau porsi
bagi hasil yang disepakati adalah 50:50, pada akhirnya Pak Budi harus
mengembalikan dana sebesar Rp 50.000.000,00 (dana pinjaman dari bank) ditambah
Rp 10.000.000,00 (50% keuntungan untuk bank).
6. Musyarakah
Mutanaqishah
Nasabah dan bank berkongsi dalam pengadaan suatu barang (biasanya rumah
atau kendaraan), misalkan 30% dari nasabah dan 70% dari bank. Untuk memiliki
barang tersebut, nasabah harus membayar kepada bank sebesar porsi yang dimiliki
bank. Karena pembayarannya dilakukan secara angsuran, penurunan porsi
kepemilikan bank pun berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya
angsuran. Barang yang telah dibeli secara kongsi tadi baru akan menjadi milik
nasabah setelah porsi nasabah menjadi 100% dan porsi bank 0%.
7. Al-Ijarah
Bank syariah yang mengoperasikan ijarah dapat melakukan leasing, baik
operational lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya bank-bank
syariah lebih banyak melakukan financial lease with purchase option atau ijarah
muntahia bit-tamlik. Hal ini karena skema
lebih sederhana dari sisi pembukuan dan bank tidak direpotkan oleh beban
pemeliharan asset. Ditinjau dari hal tersebut, ijarah lebih sering dipakai
untuk pembiayaan investasi dan customer loan.
Syarat
kehidupan sehari-hari kian lama kian rumit. Karena itu pentingnya pinjaman
konsumtif untuk kebutuhan pokok bagi
tiap orang tidak berlebihan. Pinjaman konsumtif
sedikit banyak bersifat tidak produktif, walaupun ada pengaruhnya pada
produktifitas masyarakat secara tidak langsung, yaitu mendorong produksi dan
supply. Tentu saja pinjaman harus ada tanggungan berupa deposito atau bukti
harta tetap yang dimiliki si peminjam.
Maka
dalam tataan sosial Islami pemerintah terpaksa menarik pajak semua deposito dan
saldo kredit untuk memperoleh biayanya. Rakyat tidak akan merasa berat memikul
beban perpajakan ini karena adanya pelayanan cuma-cuma, dengan demikian,
perdagangan, perniagaan, dan industri pun akan tumbuh dengan pesat. Akibatnya,
sumberdaya ekonomi akan dimanfaatkan dengan baik, masalah pengangguran akan
terpecahkan, dan pendapatan nasional pun akan meningkat dalam suatu negara
Islam. Pada semua negara Islam terdapat sejenis pinjaman yang khas yang disebut
Qard i-Hasanah yang artinya suatu pinjaman tanpa bunga. Seseorang yang
berhutang harus menyelesaikan semua utangnya sebelum ia meninggal dunia, kalau
tidak maka ia berdosa, dalam beberapa hal si pemberi pinjaman akan memberi Qard
i-Hasanah, pinjaman tanpa bunga yang harus dibayar kembali.( M.A.Mannan,1992)
Dengan
berpatokan kepada pinjaman tanpa bunga ,maka fenomena ini menjadi latar
belakang penulis untuk memilih judul :
“ Analisis Pinjaman Konsumtif Riil Pada Bank
Syariah
di Indonesia
Periode 1998.2 - 2003.1”
1.2Identifikasi Masalah
Dengan
demikian identifikasi permasalahan dalam penelitian ini akan menganalisis
tentang :
1. Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di
Indonesia?
2. Diantara
faktor-faktor tersebut, faktor mana yang lebih berpengaruh terhadap permintaan
pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di
Indonesia?
1.3Tujuan penelitian
Berdasarkan hal-hal diatas maka penelitian ini bertujuan:
1.
Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui tentang faktor mana yang lebih
berpengaruh terhadap permintaan pinjaman konsumtif pada Bank Syariah di
Indonesia.
1.4Kerangka Pemikiran
1.4.1
Definisi
bank syariah
Bank
syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berlandaskan etika dan mendasari
segenap aspek kehidupan ekonominya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
1.4.2
Bank
syariah yang terdapat di Indonesia,
- Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999),
- Bank Niaga (akan membuka cabang syariah),
- Bank BNI’46 (telah membuka 5 cabang syariah),
4. Bank
BTN (akan membuka cabang syariah),
5. Bank Mega (akan mengkonversikan satu bank konvensional
anak perusahaannya menjadi bank syariah),
- Bank BRI (akan membuka cabang syariah),
- Bank Bukopin (tengah melakukan konversi untuk cabang
Aceh),
- BPD JABAR (telah membuka cabang syariah di Bandung),
- BPD Aceh (tengan menyiapkan SDM untuk konvensi
cabang).
Catatan : Data per November 2000
1.4.3
Pinjaman Konsumtif
Pinjaman
konsumtif diperlukan oleh pengguna dana
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Kebutuhan konsumsi dibedakan atas kebutuhan
primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok atau
dasar baik berupa barang, seperti makanan , minuman, pakaian dan tempat tinggal
maupun berupa jasa seperti pendidikan dasar dan pengobatan. Adapun kebutuhan
sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara kuantitatif dan kualitatif
lebih tinggi ataupun lebih mewah dari kebutuhan primer, baik berupa barang
seperti makan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah dan kendaraan dan
sebagainya, maupun berupa jasa seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan,
pariwisata dan hiburan.(M, Syafi’i Antonio, 2001,hal 168)
Sedangkan
untuk Syariah yang dikatakan dengan konsumsi adalah permintaan dan produksi
adalah penyediaan kebutuhan konsumen yang kini dan yang sebelumnya, merupakan
insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak
hanya menyerap pendapatannya tetapi juga memberi insentif untuk
meningkatkannya. Hal ini mengandung arti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi
adalah primer. (M. A Mannan,1992 hal 44)
Perbedaan
antara ilmu ekonomi modern dan ilmu ekonomi Islam adalah dalam hal konsumsi yaitu
terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam
tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi modern.
Aturan
pertama mengenai konsumsi terdapat dalam ayat suci Al-Quran :
“ Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi
............” (Q.S, Al-Baqarah,2:169)
Pada
tabel 1.2 dibawah ini memperlihatkan pembiayaan tanpa bunga yang diberikan oleh
bank syariah di Indonesia yang memperlihatkan peningkatan, apalagi dengan
pengalamannya dengan sangat minim untuk ukuran bank di Indonesia,
Tabel 1.2
Pinjaman yang diberikan Perbankan Syariah
( Juta Rupiah)
Bulan – tahun
|
Jumlah
|
September
2001
|
1.939.087
|
Desember
2001
|
2.049.793
|
Maret
2002
|
2.153.084
|
Sumber:Bank Indonesia, Biro Perbankan Syariah
1.4.4
Teori
Permintaan Uang Keynes
Menurut
Keynes teori permintaan uang didorong oleh 3 (tiga) hal yaitu :
1.
Motif transaksi (Transaction Motive)
Keynes berpendapat bahwa orang-orang yang memegang uang
guna memenuhi dan melancarkan transaksi-transaksi yang dilakukan, dan
permintaan akan uang dari masyarakat untuk tujuan ini dipengaruhi oleh tingkat
pendapatan nasional dan tingkat bunga. Semakin tinggi pendapatan nasional
semakin besar volume transaksi dan semakin besar pula kebutuhan akan uang untuk
memenuhi kebutuhan transaksi. Selain itu, Keynes berpendapat bahwa permintaan
akan uang untuk tujuan transaksi ini pun tidak merupakan suatu proporsi yang
konstan, tetapi dipengaruhi pula oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Tapi,
Keynes tidak terlalu menekankan faktor bunga untuk motif ini.
2.
Motif berjaga-jaga (Precautionary motive)
Selain untuk keperluan transaksi, permintaan akan uang
bertujuan untuk memenuhi kemungkinan yang tidak terduga atau untuk melakukan
pembayaran-pembayaran yang diluar transaksi normal. Menurut keynes, permintaan
akan uang untuk tujuan berjaga-jaga ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan akan uang untuk transaksi, yaitu terutama dipengaruhi
oleh tingkat penghasilan orang tersebut dan mungkin dipengaruhi pula oleh
tingkat suku bunga.
3.
Motif spekulasi (Speculative motive)
Motif dari pemegang yang ini bertujuan untuk memperoleh
“keuntungan” yang bisa diperoleh
seandainya si pemegang uang mampu meramal apa yang akan terjadi dengan benar.
Keynes tidak membicarakan faktor “uncertainty” dan “expectation” secara umum,
tetapi ia membatasi “uncertainty” dan “expectation” pada suatu variabel, yaitu
tingkat suku bunga sebagai opportunity cost ditekankan oleh keynes, dimana
semakin tinggi tingkat bunga maka semakin rendah permintaan uang untuk
spekulasi, begitu juga sebaliknya.
Hal
yang berbeda dinyatakan oleh Keynes sehubungan dengan kesimpulan dari Irving
fisher di atas. Keynes berpendapat bahwa
perubahan tingkat bunga dapat mempengaruhi tingkat harga, meskipun kuantitas
uang M masih tetap sebagai variabel kunci. Dengan kata lain, Keynes menyatakan
bahwa selain kuantitas M, tingkat bunga bisa mempengaruhi tingkat harga.
Persamaan permintaan akan uang versi Keynes merupakan permintaan akan saldo
riil, dimana permintaan seseorang untuk saldo riil tidak berubah apabila harga
berubah. Permintaan uang untuk saldo riil/real balances (Md/P)
ditentukan dari besarnya pendapatan riil (Y) serta opportunity cost (i). Secara matematis formula Keynes untuk
permintaan uang dapat dituliskan sebagai berikut:
Selanjutnya,
dengan menarik fungsi preferensi likuiditas untuk velocity PY/M, kita dapat melihat bahwa teori permintaan uang
Keynes berdampak bahwa velocity of
money tidaklah konstan tetapi sebaliknya berfluktuasi dengan pergerakan
tingkat bunga. Persamaan preferensi likuiditas dapat ditulis kembali sebagai
berikut:
Dengan mengalikan kedua sisi persamaan di atas dengan Y dan menganggap
bahwa Md dapat diganti dengan M karena pada saat pasar uang dalam
kondisi ekulibrium jumlah uang M yang dipegang oleh masyarakat sama dengan
jumlah permintaan uang Md,
maka persamaan untuk velocity
of money menjadi
Dari persamaan di atas diketahui bahwa permintaan uang berhubungan secara
negatif dengan tingkat bunga; ketika i naik, f(i, Y) turun, oleh karena itu velocity of money juga naik. Dalam
perkataan yang lain, kenaikan tingkat bunga mendorong masyarakat untuk memegang
real money balances lebih
sedikit pada tingkat pendapatan yang tetap. Sehingga tingkat perputaran uang
menjadi lebih tinggi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa tingkat
bunga memainkan peranan yang penting untuk mempengaruhi tingkat perputaran uang.
Lebih lanjut, model permintaan
uang untuk spekulasi Keynes juga dapat menjelaskan kenapa perputaran uang
berfluktuasi. Apa yang akan terjadi terhadap permintaan uang apabila tingkat
bunga normal berubah? Misalnya, apa yang akan terjadi jika di masa yang akan
datang masyarakat mengharapkan tingkat bunga normal lebih tinggi daripada
tingkat bunga normal sekarang? Karena tingkat bunga diharapkan lebih tinggi di
masa yang akan datang, maka masyarakat mengharapkan di masa mendatang harga
obligasi turun sehingga para pemegang obligasi akan mengalami capital loss. Dengan demikian,
memegang uang akan menjadi lebih menarik daripada memegang obligasi. Akibatnya,
jumlah permintaan uang naik. Hal ini berarti bahwa f (i, Y) akan naik dan
akibatnya velocity of money turun.
Jadi, velocity of money akan
berubah apabila ekspektasi tentang tingkat bunga normal di masa yang akan
datang berubah, dan ketidakstabilan ekspektasi tentang pergerakan tingkat bunga
normal di masa yang akan datang akan menyebabkan velocity of money menjadi tidak stabil pula. (Gujarati, 2003)
1.5Metode Penelitian
1.5.1
Metode yang digunakan
Dalam penulisan skripsi ini metode penelitian yang dilakukan adalah melalui
pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data sekunder, yaitu
dengan menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara variabel yang
diteliti.
Untuk analisa kuantitatif, penulis menggunakan alat bantu ekonometrika.
Teknik ekonometrika yang bersifat time series digunakan dalam menguji
masing-masing variabel independent terhadap variabel dependent dan bersifat
korelasional dengan menggunakan metode regresi sederhana yaitu OLS (Oldinary
Least Square).
1.5.2
Sumber data
Dalam hal ini perlu pula dijelaskan bahwa data pendukung untuk analisis
dalam skripsi ini adalah data triwulan (tiga bulanan) dari periode1998.2 – Juni
2003.1
Semua data yang digunakan adalah data sekunder yang diterbitkan oleh :
1.
Bank
Indonesia
2.
Biro
Pusat Statistik
3.
Referensi
studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, makalah, litelatur dan bahan-bahan
lain, perpustakaan UNPAD, koleksi buku kajian ekonomi Islam, Perpustakaan Bank
Indonesia, Internet, serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
1.5.3
Model ekonometrik
Pada penelitian ini model yang digunakan
adalah model dari penelitian Ahmad Kaleem dan Khan ,1990 yaitu tentang penelitian
stabilisasi keuangan dan kredit bank syariah (studi kasus di Malaysia).
ln(Credit(isl)/P)t = a+ b1lnYRt
+ b2lnPt + b3ln(credit (isl)/P)t-1 + b4Dummy+mt
Keterangan
:
·
Kredit (Isl ) = Kredit Islam (kredit syariah)
·
Kredit/P = Kredit
riil
·
Y = Pendapatan riil
·
R = Tingkat suku bunga
·
P = Tingkat inflasi
·
a, b1, b2, b3, b4
= Parameter
·
t = waktu
·
m = Unsur gangguan
·
Dummy = Akibat krisis yang dtimbulkan
Sedangkan
untuk penelitian ini model adopsi dari penelitian Ahmad Kaleem dan Khan dengan
menghilangkan variabel Dummy dan formulasinya menjadi :
ln(Credit(isl)/P)t= a+ b1lnYt +
b2lnPt + b3ln(credit (isl)/P)t-1+ µ
Keterangan
:
·
Credit (Isl ) = Pinjaman
Konsumtif
·
Credit (isl)/P = Pinjaman Konsumtif Riil
·
Y = GDP Riil
·
P = Indeks Harga Konsumen
·
a, b1, b2, b3, b4
= Parameter
·
t = waktu
·
µ = Unsur gangguan
1.6Metode Analisis (Gujarati,2003)
Sebelum
dilakukan analisis ekonomi terhadap pengolahan data berdasarkan model yang
telah di bentuk, terlebih dahulu akan dilakukan pengujian dengan menggunakan
metode pengujian statistik, antara lain :
1.6.1
Uji
Determinasi (R2)
Uji ini
menunjukkan besarnya kemampuan variabel bebas (independent variable) untuk
menerangkan variabel tidak bebas (dependent variable) secara bersamaan dengan
tujuan untuk mengukur kebaikan dan kebenaran hubungan antara variabel dalam
model yang digunakan. Nilai R2 berkisar antara 0-1, dimana semakin
besar nilainya (mendekati 1) maka semakin dekat hubungan antara variabel tidak
bebas dengan variabel bebasnya.
1.6.2
Uji t
Uji t
dilakukan untuk menguji tingkat signifikan variabel bebas terhadap variabel
tidak bebas melalui koefisien regresi suatu model. Kriteria yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pengujian
dua arah (two tailed significance level). Dengan demikian berlaku pengujian
sebagai berikut :
·
Jika t stst > t tabel atau t stat < t tabel maka
pengaruhnya signifikan
·
Jika –t tabel < t stat < +t tabel maka pengaruhnya
tidak signifikan
1.6.3
Uji F
Uji f
digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara bersama-sama
terhadap pergerakan variabel dependen dengan nilai koefisien determinan R :
F = ESS / (
k – 1 )
RSS / ( n – k )
Keterangan :
·
F Statistik F yang menyebar mengikuti distribusi F dengan
derajat bebas k-1 dan n-k
·
ESS : jumlah kuadrat yang dijelaskan
·
RSS : jumlah kuarat residual
·
k – 1 : derajat bebas regresi, dengan k adalah banyaknya parameter dalam model regresi
·
n – k : derajat bebas error dimana n adalah banyaknya
pengamatan (ukuran sampel)
Seandainya
seluruh nilai sebenarnya dari seluruh variabel regresi ini sama dengan nol,
maka dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan linear antara variabel bebas
dengan variabel tidak bebas dalam model. Sebaiknya jika angka F statistik lebih
besar dari nilai kritis pada tingkat signifikansi tertentu, maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh variabel bebas dalam model tersebut secara bersama-sama akan
mempengaruhi variabel tidak bebas pada tingkat signifikan tertentu.
1.6.4
Uji
Durbin Watson
Uji
statistik Durbin–Watson digunakan untuk mendeteksi masalah autokorelasi (serial
korelasi) dalam suatu model regresi linier. Autokorelasi adalah korelasi antara
anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time series) atau ruang (seperti
dalam data cross sectional). Hipotesis yang digunakan adalah:
H0 :
tidak ada autokorelasi dalam model regresi
H1 :
terdapat autokorelasi dalam model regresi
Pengujian
yang dilakukan untuk menyatakan adanya autokorelasi pada error-terms adalah
dengan melihat nilai Durbin-Watson yang diperoleh dengan memperhatikan
kriteria-kriteria yang didasarkan pada tabel 1.3 berikut ini.
Tabel 1.3
Batas Kritis Hipotesis
untuk DW Statistik
Nilai DW berdasarkan
Estimasi Model Regresi
|
Kesimpulan
|
0 < DW < DL
DL < DW < DU
DU < DW < (4
- DU)
(4 - DU) < DW
< (4 - DL)
(4 - DL) < DW
< 4
|
H0 ditolak, terdapat autokorelasi positif
Daerah Ragu-ragu
H0 diterima,
tidak terdapat autokorelasi
Daerah Ragu-ragu
H0 ditolak, terdapat autokorelasi negative
|
Sumber: Damodar N. Gujarati. 1993. Ekonometrika Dasar. Jakarta : Erlangga.
1.6.5
Run
Test
Uji ini
dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya masalah autokorelasi dalam model,
dengan melakukan perhitungan terhadap pergerakan (positif dan negatif) residual
yang diperoleh dari selisih antara nilai aktual dari variabel dependen terhadap
estimasinya. Setelah diperoleh data residual, maka ditentukan jumlah nilai
residual yang positif (N1), nilai negatif (N2), jumlah/banyaknya
run atau perubahan nilai positif dan negatif residual (n) dan jumlah
observasinya (N).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar